Selasa, 05 November 2019

Stabilisasi Politik dan Keamanan Masa Orba

Wawan Setiawan Tirta
Indonesia pada saat Orde baru mempraktikan demokrasi semu dalam kehidupan perpolitikannya. Negara seolah ingin mencitrakan sebagai negara demokratis dengan menyelenggarakan pemilihan umum, namun dalam praktiknya tetap saja otoriter. Selama Presiden Soeharto berkuasa lebih menitik beratkan pada stabilisasi politik kemudian stabilitas ekonomi daripada membangun iklim demokratisasi dalam masyarakat. Stabilitas politik mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia yang kacau balau pasca G 30 S PKI.

Menurut saya stabilisasi politik adalah usaha-usaha Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang dapat mengganggu kewibawaan pemerintah. Bagi Orde Baru, Demokratisasi melalui pilarnya yakni pemilu dan partai politik yang dirancang agar tampak demokratis seperti kebijakan floating mass, fusi partai selain Golkar, prinsip monoloyalitas bagi birokrat.

Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
  1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
  2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
  3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
  4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;

Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan dilakukan terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.
 Indonesia pada saat Orde baru mempraktikan demokrasi semu dalam kehidupan perpolitikannya Stabilisasi Politik dan Keamanan Masa Orba
Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968 namun baru dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970. Jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. 

Perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150)

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik. Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar.

Pemerintah juga menetapkan partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan sampai pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas)..

Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Semua pemilu dimenangkan oleh Golkar karena diduung oleh aparat pemerintah (pegawai negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974. Peristiwa demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan aksi anarki. Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah toko milik pedagang Cina di Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis karena aksi tersebut. Geger Jakarta ini mengejutkan jajaran aparat keamanan dan pemerintah, karena itu diberi julukan Malapetaka Lima Belas Januari yang populer dengan Malari.

Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang, kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran, seperti diskusi dan seminar.

Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.

Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.